Media Alternatif Sebagai Alat Pergerakan

by - 11:01 AM

SEJAK dikeluarkannya UU Pers No 40/1999 dan UU Penyiaran No 32/2002 yang menekankan pada kebebasan pers dan kebebasan bermedia, pertumbuhan media di Indonesia meningkat secara signifikan. Hal ini karena media sudah terlepas dari kungkungan hegemoni kekuasaan Orde Baru. Media mainstream dan media alternatif mulai bermunculan di kota besar hingga daerah kecil, namun tetap saja media mainstream yang mendominasi media di Indonesia.
Dalam pemikiran awam, mungkin tidak ada yang salah dengan kehidupan media mainstream di Indonesia. Bahkan masyarakat merasa bahwa media mainstream sudah menjalankan tugasnya dalam melaporkan permasalahan negara, seperti isu-isu korupsi dan kritik terhadap tata kelola negara. Namun tetap saja media mainstream tidak terlepas dari berbagai permasalahan terkait kebijakan program yang dilakukan media mainstream dan kinerja profesional media.
Hal ini bisa dilihat dari banyaknya keluhan terhadap KPI pada tahun 2013. Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Dr Judhariksawan SH MH, dalam Rapat Koordinasi Nasional KPI seluruh Indonesia mengatakan, selama 2013 KPI telah mengeluarkan 800 lebih teguran atas 9.960 lebih aduan masyarakt terkait konten program-program media mainstream. Hal ini membuktikan bahwa kebebasan media ternyata tidak serta merta menaikan kepuasan rakyat pada kinerja media mainstream.
Bahkan di masa-masa pesta demokrasi saat ini, arus informasi yang berkembang sudah tidak lagi memerhatikan kepentingan publik, namun lebih memerhatikan kepentingan internal media dan pemilik modalnya sendiri. Keberpihakan media mainstream ini menjadi semakin jelas dan nyata, ketika pemilik dan manajemen dari media mainstream itu menjagokan calon dari partai tertentu, atau bahkan jika pemilik medianya merupakan anggota partai tertentu. Hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa meskipun media mainstream telah memiliki kebebasan, namun tetap terbelenggu dalam kekuasaan modal.
Noam Chomsky, dalam buku Politik Kuasa Media mengatakan, penguasa dan pengusaha berpretensi menggunakan media untuk kepentingan sendiri, sehingga media bukan sebagai forum bebas bagi kebenaran, tetapi hanya menjadi alat untuk merekayasa masyarakat. Lebih jauh, Chomsky menyatakan, informasi di media hanyalah sebuah rekonstruksi tertulis atas suatu realita yang ada di masyarakat. Namanya rekonstruksi tentu sangat tergantung pada orang di balik media di dalam melakukan kerjanya.
Melihat argument Chomsky tentang media, maka tidaklah salah jika media pada dasarnya bersifat hegemonik terhadap masyarakat dengan berbagai informasinya dan program. Selanjutnya maka pandangan para penguasa dan pengusaha melalui media akan disebarkan secara terus-menerus, sehingga pandangan tersebut akan menjadi pandangan umum masyarakat, Pieree Bourdieu menyebutnya doxa. Masyarakat tidak akan menyadari hal tersebut, karena ini merupakan penjajahan atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan masyarakat. Hingga pada akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat dan yang didominasi secara sadar mengikutinya atau disebut hegemoni menurut Antonio Gramsci.
Melihat bagaimana pada akhirnya media tidak lagi mementingkan kebutuhan publik dalam memberikan informasi yang mendidik, tanpa intervensi kepentingan penguasa dan pengusaha, maka perlu lah media alternatif untuk memberikan masyarakat informasi yang mendidik serta terlepas dari kepentingan penguasa dan pengusaha. Media alternatif menjadi penting karena memang pada dasarnya bersifat counter hegemoni penguasa dan pengusaha.
Media alternatif pada dasarnya mampu menjadi wadah kaum intelektual dan masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah tanpa ada intervensi dari mana pun. Edward Said menyatakan, fungsi intelektual dalam masyarakat adalah menyuarakan sesuatu yang benar kepada yang berkuasa. Dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia mengetahui bahwa penguasa sedang bermasalah, akan tetapi ia tidak mengatakannya. Maka dari itu media alternatif merupakan wadah yang ideal, karena terlepas dari kepentingan apapun.
Sebagai satu media alternative yang bisa dengan mudah ditemui adalah radio, baik yang bersifat komunitas ataupun lembaga yang tidak berorientasi pada laba. Dalam UU No 32 Tahun 2002 pasal 21 ayat 2, tercantum bahwa radio alternatif tidak dimaksudkan untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian perusahaan yang mencari keuntungan semata, dan bertujuan untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan, dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan informasi yang menggambarkan identitas bangsa.
Oleh karena itu, maka media alternatif, baik itu radio atau media yang lain, harus di masifkan kembali pergerakannya. Dalam melawan hegemoni penguasa dan pengusaha, sudah saatnya kita harus memakai media. Baik radio, majalah, web, dan lainnya, karena media merupakan wadah yang sangat efektif dalam membentuk opini publik masyarakat. Sehingga kita tidak hanya mengkritik media mainstream karena memberikan informasi yang tidak mendidik kepada masyarakat, namun kita juga bergerak dalam memberikan informasi yang mendidik bagi masyarakat, terlepas dari kepentingan apapun.(*)

You May Also Like

0 comments