Eksploitasi dan Konstruksi Media Terhadap Perempuan
Pada
masa orde baru media merupakan alat Pemerintah untuk mempertahankan status quo, hal ini bisa dilihat dari
konten dan isi yang ada didalam media saat itu, dimana konten yang ada didalam
media didominasi oleh informasi-informasi yang memberikan citra baik pada
Pemerintah. Namun setelah Soeharto lengser dan masa orde baru berakhir,
kebebasan media dapat dirahkan kembali, setelah sebelumnya direnggut oleh
Pemerintah. Puncaknya adalah saat Pemerintah pasca masa orde baru mengeluarkan UU
Pers No.40/1999 dan UU Penyiaran 32/2002 , yang menekankan pada kebebasan pers
dan kebebasan bermedia, oleh karena itu Undang-undang ini menjadi tonggak meningkatnya jumlah media di
Indonesia..
Seiring berkembangnya media di
Indonesia, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri, yaitu tentang kinerja
media dalam memberikan informasi dan hiburan kepada masyarakat. Hal ini sangat
disayangkan, karena ketika media mendapat kebebasan, kebebasan tersebut malah
disalah gunakan, dan menimbulkan banyak anggapan bahwa kebebasan media sudah
kebablasan. Kebebasan media yang sudah kebablasan ini, bisa dilihat dari konten
yang media sajikan, dimana konten-konten tersebut hanya menyajikan hiburan yang
tidak mendidik dan hanya mengejar rating semata.
Saat
ini mayoritas media lebih mementingkan rating diatas segalanya, terlepas dari
media tersebut memberikan informasi yang bermanfaat atau tidak kepada
masyarakat. Hal ini dikarenakan media sudah menjadi pasar yang potensial, guna
mencari keuntungan bagi para kaum pemodal. Untuk meningkatkan rating
media, cara yang digunakan sungguh
ironis, yaitu menjadikan perempuan sebagai objek untuk di eksploitasi. Hal ini
sangatlah merugikan bagi perempuan, karena media merupakan faktor yang sangat
dominan dalam membentuk opini didalam masyarakat.
Media tidak hanya cerminan realitas
yang ada didalam masyarakat, namun media juga dapat membentuk realitas yang ada
didalam masyarakat, khususnya media Televis. Hal ini dikarenakan televisi
menggunakan ruang publik yang dengan sangat mudah dapat diakses oleh masyarakat.
Televisi dapat dengan mudah membentuk realitas didalam masyarakat, dan
masyarakat pun dapat dengan mudah pula terjebak didalam realitas yang dibuat
ini. Dalam membuat realitas, saat ini media terkesan tidak peduli apakah
realitas ini bermanfaat bagi masyarakat atau tidak, namun hanya mementingkan
keindahan, agar masyarakat tertarik, hal ini dikarenakan media hanya mencari
rating untuk meningkatkan profitnya. Dan guna memberikan keindahan pada
realitas buatan tersebut, media menggunkan perempuan sebagai objek.
Menjadikan perempuan sebagai objek
untuk membuat tayangan televisi menjadi menarik, sekali lagi merupakan hal yang
sangat ironis. Ditengah banyaknya perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan
keadilan gender, televisi yang seharusnya dapat menjadi salah satu aktor
pendukung yang dominan untuk perjuangan kaum perempuan, namun malah menjadi
aktor yang melanggengkan ketidakadilah gender sampai saat ini.
Kapitalisme yang telah masuk dalam
roda pertelevisian Indonesia sangat berpengaruh pada konten yang dibawa
televisi saat ini. Banyak sekali tayanganan televisi yang menggunakan perempuan
untuk meningkatkan rating suatu acara, dan dalam banyak tayangan tersebut, yang
ditonjolkan dari perempuan mayoritas hanya kecantikan dan keindahan tubuhnya. Hal
ini sangat disayangkan, karena seolah-olah hanya hal tersebut yang bisa dijual
dari perempuan untuk mendapatkan kepuasaan penonton. Dan tayangan seperti ini
pun banyak dijumpai baik didalam acara kuis, sinetron, infotainment, tayangan
tengah malam, dan bahkan sampai iklan yang ada disetiap jeda suatu tayangan
televisi.
Di dalam acara kuis, sering kali
kita lihat bahwa perempuanlah yang menjadi pembawa acaranya. Hal tersebut bukan
dikarenakan perempuan lebih cerdas daripada laki-laki, namun lebih dikarenakan
logika yang ada didalam televisi, yang menganggap perempuan lebih menarik
dibandingkan laki-laki. Menarik disini pun lebih karena perempuan dianggap bisa
menarik banyak penonton karena kecantikannya dan keindahan tubuhnya. Logika
yang dibangun didalam televisi sungguh merendahkan perempuan, karena perempuan
hanya dianggap sebagai objek yang menjual karena parasnya, bukan karena
kecerdasannya. Namun memang inilah logika kapitalisme yang mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan paras perempuan yang dianggap menjual,
tanpa memperdulikan dampak terhadap stigma perempuan didalam masyarakat. Dampak
hal ini pun secara tidak langsung, mengkonstruk kesadaran masyarakat bahwa
perempuan hanya menjual kecantikan dan keindahan tubuhnya.
Di dalam sinetron pun, perempuan
mendapat dampak negatif yang sama seperti pada acara kuis, bahkan lebih banyak
dibandingan acara kuis. Dalam sinetron, sering kali kita jumpai perempuan yang
suka bergosip, lemah, manja, dan mata duitan. Hal seperti ini bisa kita jumpai
di hampir setiap sinetron yang ada di Indonesia. Peran-peran perempuan yang
seperti ini lah, yang mengkonstruk kesadaran masyarakat, bahwa perempuan memang
sudah kodratnya memiliki sifat suka bergosip, lemah, manja, dan mata duitan,
padahal sifat tersebut adalah konstruksi yang diciptakan oleh masyarakat
terhadap perempuan. Secara tidak sadar, televisi telah menstereotip perempuan,
dan banyak perempuan yang menganggap hal tersebut sebagai kewajaran, padahal
dampaknya sangat besar terhadap perempuan.
Tidak hanya memberikan citra negatif
terhadap perempuan, sinetron juga turut mengkonstruk perempuan untuk bersikap
sesuai realitas yang dibuat oleh televisi. Hal ini lah yang menyebabkan banyak
perempuan yang merasa sikapnya harus sesuai dengan realitas buatan, padahal
didalam realitas buatan tersebut perspektif yang digunakan adalah perspektf
patriarkis yang sangat menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan.
Bukan hanya itu, didalam sinetron
pun terkadang tidak mementinkan jalan cerita yang baik untuk dikonsumsi oleh
masyarakat, namun lebih mementingkan apakah jalan ceritanya sesuai dengan tren
yang ada dimasyarakat. Meskipun jalan cerita sesuai dengan tren yang ada
dimasyarakat, tapi jalan cerita tidak bagus, perempuan adalah objek untuk
menyiasatinya. Selama perempuan untuk bisa menarik perhatian penonton, maka
tidak peduli jalan cerita sinetron baik atau tidak, maka acara tersebut akan
dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini sangat ironis, melihat perempuan hanya
dijadikan objek untuk menarik perhatian penonton.
Selain sinetron, infotainment pun secara tidak langsung
memberi stereotip negatif terhadap perempuan. Infotainment adalah program televisi yang menggabungkan istilah information dan entertaiment, program ini memberikan informasi yang menjual tentang
sisi pribadi public figure, orang-orang
populer, dan selebritas. Terkadang informasi yang diberikan oleh infotainmet sendiri terkesa
dilebih-lebihkan dan masyarakat lebih menganggap infotainment sebagai acara gosip semata. Didalam infotainment mayoritas pembawa acanya
adalah perempuan, hal ini memberi kesan, seolah perempuan adalah makhluk yang
suka bergosip, selain itu perempuan yang dipilih pun harus mempunyai nilai jual
seperti kecantikan dan tubuh yang indah. Hal ini sangatlah disayangkan, selalu
yang ditonjolkan oleh televisi adalah paras perempuan bukan kecerdasannya.
Tayangan televisi yang paling bias
gender adalah tayangan lewat jam malam, yang di istilahkan sebagai jam tidur
media televisi Indonesia. Logika yang dibangun didalam televisi adalah, jam
malam merupakan jam penonton dewasa, dan penonton dewasa perlu diberikan
hiburan yang sensasional.
Seks ibarat manta yang manjur untuk
hiburan yang sensasional, baik itu dikemas dalam talk-show, laporan khusus, dan sinetron komedi. Dalam talk-show sering sekali kita jumpai,
perempuan hanya sebagai pelayan didalam acara tersebut, selain menjadi pelayan,
di banyak talk-show perempuan sering
sekali menggunakan pakaian yang ketat dan seksi. Hal ini dimaksudkan untuk
menarik perhatian penonton dewasa agar mau menonton acara tereebut untuk waktu
yang lama.
Di dalam laporan khusus pada
tayangan lewat jam malam, perempuan menjadi objek yang dieksploitasi tubuh dan
kecantikannya. Sebagai contoh bisa diambil tayangan “Mata Lelaki”, dimana
tayangan ini sangat mengeksploitasi tubuh perempuan, terutama bagian paha dan
dada. Hal ini sungguh sangat merendahkan perempuan. Seolah-olah perempuan
merupakan pemuas nafsu laki-laki dewasa dengan keindahan tubuhnya. Tayangan ini
meskipun sudah mendapat teguran dari KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), namun
tetap tidak mengubah secara drastis, dalam mengeksploitasi tubuh perempuan.
Selain acara ini, banyak pula acara laporan khusus tengah malam yang
mengeksploitsasi perempuan. Acara-acara seperti ini, secara tidak sadar telah menstereotip
kan perempuan, sehingga memunculkan stigma negatif terhadap perempuan.
Di
dalam sinetron komedi tengah malam bahkan lebih ironis lagi, bukan hanya
mengeksploitasi tubuh perempuan, lawakan yang dipakai pun melecehkan perempuan.
Materi leluconnya lebih menunjukan pelecehan seksual dari sudut laki-laki atas
perempuan. Ditambah lagi, setting
sosial acara ini adalah masyarakat kelas bawah. Seolah-olah memang begitulah
masyarakat Indonesia. Padahal ini jelas sekai adalah konstruksi media televisi
yang memiliki tujuan untuk mencari rating semata, tanpa mempedulikan dampaknya
terhadap masyarakat, khususnya perempuan.
Ironisnya,
saat ini bukan hanya tayangan tengah malam saja yang mengeksploitasi tubuh
perempuan, hampir semua tayangan televisi dewasa ini menampilkan tubuh
perempuan secara eksploitatif. Kostum perempuan dibanyak tayangan televisi,
menggunakan rok mini, baju ketat, t-shirt, atau baju lengan pendek yang ketat,
sehingga memungkinkan lekukan tuuh perempuan menjadi sangat kentara. Apalagi,
jika selera produser dan sutradara sama, yakni perempuan yang memiliki lekuk
tubuh yang indah. Belum lagi posisi duduk pemain perempuan dan angle kamera memang di-set untuk
menonjolkan pemandangan itu.
Melihat
konstruksi media televisi saat ini terhadap stigma perempuan memang sungguh
ironis. Hal ini sekali lagi karena logika kapitalisme yang bermain di media
televisi, dimana stasiun televisi seperti berlomba untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan cara menomor satu kan rating diatas segalanya, tanpa peduli
informasi apa yang diberikan dan apa dampak yang akan dirasakan masyarakat,
terutama perempuan.
Tidak
hanya tayangan yang ada didalam televisi saja yang memberi dampak negatif
terhadap perempuan, iklan pun turut serta juga dalam mengkonstruksi stigma perempuan,
lebih dari itu, iklan pun turut mengkonstruk bagaimana seharusnya perempuan
ideal. Iklan bisa di ibaratkan sebagai kue untuk tayangan-tayangan televisi
yang memiliki rating tinggi. Dimana tayangan-tayangan televisi yang ada di atas
tadi, untuk mendapatkan rating yang tinggi, dengan cara mengeksploitasi
kecantikan dan tubuh perempuan.
Didalam
iklan kosmetik sering kita jumpai, bagaimana seharusnya perempuan menjadi
cantik, yaitu dengan menjadi putih, berambut hitam lebat, dan berbadan
langsing. Padahal kecantikan adalah relatif, namun dengan adanya iklan-iklan
kosmetik membuat cantik itu adalah berkulit putih, berambut hitam lebat, dan
berbadan langsing. Kecantikan-kecantikan yang ada pada iklan sebenarnya
merupakan hasil dari produk-produk yang mereka tawarkan, dan ironisnya
perempuan seolah harus mengikuti kecantikan yang dibentuk oleh iklan.
Didalam
iklan pun sering terjadi konstruksi, bahwa perempuan bekerja dibidang dosmetik
saja, seperti memasak, mengasuh anak, mencuci, dan mengurus keluarga. Hal ini
mencerminkan bahwa memang bidang pekerjaan perempuan memang dibidang dosmetik,
padahal hal seperti ini adalah konstruksi dari budaya patriarkhi yang ada
didalam masyarakat. Dengan adanya iklan-iklan seperti ini, maka konstruksi yang
telah ada didalam masyarakat seolah-olah dilanggengkan. Dan hal ini akan
berdampak pada pola pikir masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.
Iklan
pun turut serta dalam mengkonstruk stigma konsumerisme perempuan, dimana sering
dijumpai iklan-iklan yang menunjukan adanya potongan harga pada produk
tertentu, maka selalu perempuan yang ditunjukan berebut untuk membeli barang
yang sedang mendapat potongan tersebut. Bukan hanya membentuk stigma saja,
didalam hal ini pun iklan juga membentuk kesadaran perempuan untuk bersifat
konsumtif. Dan hal ini berdampak kuat pada perempuan dewasa ini. Dan yang lebih
ironis, didalam iklan buka nilai guna barang lagi yang ditunjukan tetapi lebih
pada nilai tanda dari barang tersebut.
Melihat
fenomena yang terjadi pada televisi Indonesia, maka bisa ditarik benang merah,
bahwa konstruksi yang dilakukan terus menerus oleh televisi akan membuat
masyarakat berfikir bahwa memang seperti itulah realita yang ada dimasyarakat,
terlepas dari itu benar atau salah. Jika dilihat melalui teori konstruksi
sosial Peter L. Berger, maka ini merupakan proses sosial internalisasi. Dimana
pada tahap ini individu secara langsung menafsirkan peristiwa yang terjadi
untuk mengungkapkan makna, Berger menyatakan individu mengidentifikasi diri
dengan lembaga sosial dan realitas sosial yang ada disekitarnya. Salah satu
aktor yang berperan dalam menginternalisasikan makna kepada individu maupun
masyarakat, adalah televisi. Dimana televisi terus menerus menginternalisasikan
makna yang ada didalam tayangannya maupun iklannya, sehingga makna-makna ini di
identifikasi dan di tiru oleh inividu maupun masyarakat.
Di
lihat dari teori Fakta Sosial yang merupakan pemikiran Emile Durkheim,
tayangan-tayangan yang ada ditelevisi turut serta dalam mengkonstruk perempuan.
Dimana perempuan secara tidak sadar meniru peran dari perempuan lain yang ada
didalam realitas buatan televisi. Padahal jika di kritisi, realitas yang ada di
televisi adalah realitas buatan dengan perspektif patriarkhi, yang merugikan
perempuan. Selain itu didalam iklan televisi pun banyak sekali tekanan yang
diterima perempuan, kecantikan yang merupakan konstruksi dari iklan juga
menekan para permpuan untuk mengikuti standar cantik yang ada di televisi.
Melihat
iklan yang merupakan cucu dari kapitalisme melalui perspektif Jean Baudrillard,
maka iklan saat ini sudah tidak lagi mementingkan nilai guna lagi, iklan lebih
menjual nilai tanda dari produknya, hal ini pun turut serta mengkonstruk pola
pikir masyarakat pada umumnya, dan menyebabkan budaya konsumtif didalam masyarakat
tumbuh. Hal ini sangatlah berbahaya bagi perempuan, karena pola pikir yang
telah dikonstruk oleh televisi, menyebabkan perempuanlah yang menjadi target
bagi budaya konsumtif ini.
Budaya
konsumtif yang mementingkan nilai tanda inilah yang menjadi target dari logika
kapitalisme media. Sebagai contoh jika didalam tayangan televisi, para artis
menggunakan pakaian bermerk yang berharga mahal, dan merk pakaian itu mengiklan
didalan tayangan tersebut, maka masyarkat akan mengkonsumsi pakaian dengan merk
yang sama, yang digunakan oleh artis idola mereka, tanpa peduli pakaian itu
mahal atau murah, hal ini dikarenakan nilai tanda yang ditawarkan oleh artis
yang menggunakan pakaian itu lebih tinggi daripada pakaian lain. Dan target
dari budaya konsumtif ini lebih kepada perempuan, karena perempuan telah di
konstruk sedemikian rupa supaya pola pikirnya memiliki perspektif konsumtif.
0 comments