Dari Ku Tentang Cinta

by - 10:34 AM

Senja datang tanpa di undang di langit purwokerto yang hangat ini. Aku duduk didalam ruangan yang penuh dengan asap rokok di udara. Ditemani boys don’t cry dari The Cure yang mengisi indra pendengaranku. Sudah tak terhitung puntung rokok yang memenuhi asbak kotor di pojok ruangan. Tak terbayangkan pula seramai apa kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran yang tak tahu akhirnya.
Hingga saat ini ak tak pernah suka berada dikeramaian, karena ditengah keramai terlalu banyak manusia yang berlomba-lomba untuk bersuara tentang hal-hal kosong. Kalimat penuh kekosongan yang berujung pada tanggapan kosong pula. Aku lebih suka berada dalam keadaan sepi, namun ramai akan pikiran yang terus bergumul didalam kepala. Atau berdua bersama manusia lain yang mengeluarkan kata-kata penuh kehidupan.
Sore ini, meskipun berdua didalam ruangan, aku lebih menikmati pikiranku dibanding ocehannya. Aku terus berpikir tentang diriku dan juga dirimu. Aku terlalu mencintai dirimu, namun juga mencintai diriku. Aku mencintai dirimu, hingga aku memiliki hasrat kuat untuk menjadikanmu teman hidupku, bahkan hingga tua nanti. Aku terlalu mencintai diriku, hingga aku tak berani mengungkapkan perasaanku kepada dirimu, yang sangat menggebu.
Sejak mengenal dirimu, pola hidupku mulai banyak berubah. Aku mulai mencoba dekat dengan tuhan, dengan melakukan berbagai ritual yang diwajibkannya, dan yang lebih gilanya lagi aku mulai memikirkan tentang diriku sendiri, tentang bertanggungjawab terhadap ibu dan adikku, hingga bertanggung jawab terhadap pasanganku, kelak dimasa depan.
Aku tidak bisa melepaskan pikiranku dari dirimu. Aku heran, kenapa hanya dalam waktu yang singkat aku bisa benar-benar terjerembab dalam lubang yang banyak orang sebut cinta. Tak sering kita bertemu, namun setiap bertemu, dirimu selalu mampu membuatku berpikir tentang kehidupan. Aku selalu bahagia, serta mengutuk diri sendiri atas keadaan tersebut.
Diawal kita bertemu untuk kau berbagi salah satu kisah hidupmu, kulihat matamu sayu dan air mata selalu siap leleh dari indra pengelihatanmu. Kau bercerita tentang masa lalu bersama dengan lelaki yang hingga saat ini masih kau cinta. Masa lalu yang indah hingga satu kejadian merusaknya. Dimana lelaki yang kau cinta itu, mengkhianati cinta yang kau jaga. Air matamu mulai leleh ketika kau mulai cerita tentang pengkhianatnnya, tak banyak yang bisa ku lakukan, aku hanya mendengar sambil beberapa kali memberikan tanggapan.
Tak terasa hari berlalu, ketika kau masih asik bercerita. Tepat satu jam pasca tengah malam, saudaramu datang untuk mengajak pulang. Sejujunya aku merasa bersalah, terjebak dalam keadaan itu, namun tak ada yang mampu ku perbuat. Sisa langit pekat itu diakhiri dengan kebahagian dalam diriku, namun aku tak tahu apa yang kau rasakan saat itu.
Siang setelah malam yang akan aku kenang dalam hidupku, kau bangun saat adzan zuhur menyapa. Kau bilang, akhirnya bisa tidur untuk waktu yang lama. Bagiku hal tersebut sangatlah berkesan, karena aku merasa mampu membuatmu beristirahat lebih lama dibanding biasanya. Tak lama berselang kau mengirimiku puisi, yang menandakan sebuah harapan, harapan untuk kau melanjutkan hidup, dan harapan untuku, yang aku asumsikan akan bisa menjalani hidup denganmu dalam sebuah ikatan yang lebih dari sekedar teman.
Kau membuatku berpikir bahwa akulah lelaki yang mampu mengobati sedikit luka hatimu. Saat itu, harapanku terbang ke awan, ditambah semangat yang kau berikan saat aku harus melakukan sesuatu yang membuat kita berpisah dalam waktu beberapa hari, disaat tahun baru. Aku menganggap moment saat itu sungguh berharga karena kita menjadi lebih hangat dalam hubungan yang memiliki persepsi berbeda di antara kita.
Pasca menghabiskan malam bersama dan puisi yang kau kirim, kita mulai lebih intens bertukar kabar, bahkan mulai merencanakan pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang kita sebut sesi curhat. Aku ingat kau mengatakan “kangen nongkrong sama aku ya?” di sela-sela obrolan kita. Aku merasa itu adalah kalimat yang membuat aku merasa perasaanku direspon olehmu.
Malam tanggal 29 desember 2015, aku mengatakan bahwa aku tidak akan bisa menghubungimu selama kegiatanku berlangsung, lalu kau menjawab bahwa kau sedih, dan aku menjanjikan melanjutkan sesi curhat yang belum usai sebelumnya. Kau menyepakatinya dengan syarat yang sungguh mudah untukku. Dan kau sekali lagi menyemangati dan mengingatkanku untuk tidak meninggalkan solat, yang mana hingga saat ini, pesanmu tak pernah ku lupakan.
Tiga hari berlalu tanpa kabar darimu, dan aku masih tidak bisa melepaskan pikiranku darimu. Aku merasa sangat bahagia ketika acara usai, hal yang tidak pernah aku rasakan. Aku bahagia karena akan bisa intens lagi bertukar kabar denganmu. Namun, saat aku sampai di Purwokerto dan bisa bertukar kabar denganmu lagi, aku merasa kamu telah berubah. Tidak seperti seseorang yang aku kenal saat tahun belum berganti.
Aku mengabarimu dengan antusias, tidak lupa ucapan selamat tahun baru yang telah 16 jam 53 menit. Sayang kau hanya membalas ala kadarnya. Aku mulai membalas dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, dan kau menjawab dengan kepura-puraan yang aku tidak tahu kenapa. Namun aku merasa ada sesuatu yang coba kau tutupi padaku.
Aku terus bertanya pada diri sendiri, tentang apa yang sedang terjadi, hingga aku memberanikan diri untuk bertanya langsung padamu. Kau menjawab dengan mengirimiku puisi yang aku tak mampu menerka makna di dalamnya. Aku hanya mampu menerka, tanpa kepastian mengenai persepsiku sendiri.
Ada satu kejadian yang membuatku terjun bebas ke bumi dan menghantam tanah kerasnya, setelah beberapa hari kau bawa terbang dengan segala ucapan dan tingkah lakumu. Saat itu temanku bercerita, tentang temannya yang mendekatimu dan kau meresponnya dengan baik. Katanya, kau sering mengingatkannya untuk solat subuh dan makan bersamanya. Cerita itu membuatku sadar, bahwa duniamu lebih luas, dibanding yang aku ketahui, dan aku mulai merasa bahwa aku harus membuat barrier untuk hatiku sendiri, agar tidak jatuh terjatuh terlalu dalam sesuatu yang kupersepsikan sebagai cinta.
Sejak saat itu, aku sadar bahwa yang aku inginkan bukan balasan terhadap perasaanku darimu, namun kebahagiaanmu, entah dengan siapapun. Aku hanya tidak ingin perempuan sekuat dan sepintar dirimu jatuh karena sesuatu yang irasional. Aku hanya ingin membuatmu bangkit dan menjalani hidup yang sudah sangat keras ini. Hanya itu yang diinginkan oleh pikiran rasionalku.
Dalam kondisi itu, aku merasa menjadi seseorang yang puitis. Aku mengirimu sebuah puisi yang terinspirasi dari film Dead Poet Society, tentang penyesalanku karena tidak memiliki keberanian untuk mengambil kesempatan dengan resiko yang dikandungnya. Kau membalas puisiku, dengan puisi pula, yang membuatku terbayang melayang, dan merubah pemikiranku sebelumnya. Aku ingin menjadi bagian hidupmu! Ucapku dalam hati. Sesuatu yang membuatku berani untuk mengajakmu keluar untuk makan dan merencanakan sesi curhat selanjutnya.
Siang itu, tidak penting tepatnya hari apa, kita bersepakat untuk makan bersama. Aku tidak menyangka jika waktu makan siang itu akan berubah jadi sesi curhat kedua. Aku memberikan pertanyaan sederhana, yang tidak kusangka bahwa jawabannya akan membuatku kehilangan kata-kata. Kau bercerita tentang masa-masa intership-mu di Jakarta, saat itu ternya banyak sekali lelaki yang berusaha mendekatimu, namun tak kau gubris. Hingga ada satu lelaki lulusan pesantren, yang bahkan kau tak ingat wajahnya, diam-diam mengagumimu.
Lelaki itu, memperlakukanmu dengan sangat hati-hati. Ia mulai menghubungimu dengan obrolan-obrolan garing, yang jarang kau gubris. Hingga satu hari, tepatnya di hari terakhir 2015, ia langsung mendatangi rumahmu untuk bertemu keluargamu. Sesuatu yang menurutku sangat gila, yang bahkan tidak pernah terlintas dikepalaku. Hal itu menciptakan kesan yang mendalam untukmu, hingga akhirnya kau merasa kehilangan ketika lelaki itu tidak menghubungimu dikemudian hari.
Kau mengatakan bahwa, lelaki itu seperti kiriman tuhan ditengah kegundahan hatimu pada mantanmu, yang masih saja tidak melepaskanmu. Lelaki itu mampu membuatmu tidak lagi memikirkan mantanmu untuk sesaat, diam-diam kau ternyata jatuh hati padanya. Hingga kau menyelesaikan ceritamu, aku hanya mampu terdiam, dan hanya bisa memalingkan wajah.
Saat itu aku berpikir, jangan-jangan puisi yang kau kirim padaku, ternyata menceritakan tentang dia. Sesuatu yang tidak pernah ku duga. Aku mulai merasa bahwa tidak mungkin untukku menjalin hubungan yang lebih serius denganmu. Aku terlalu naif dengan pikiranku untuk hidup bersama denganmu.
Aku memang pengecut, yang tidak berani mengungkapkan perasaanku padamu, karena aku takut kejujuran yang ku sajikan padamu akan merusak hubungan kita. Aku lebih baik tersiksa dalam diam, dibanding harus kehilanganmu, bahkan dalam hubungan sebagai teman.
Setelah sesi curhat yang tidak diduga itu, malamnya aku bertemu dengan seseorang yang sudah kau anggap sebagai saudara. Aku banyak bertanya tentang hidupmu dan menceritakan bagaimana hubungan kita. Setiap kata yang keluar dari bibir saudaramu, membuatku harus sabar dalam menjalin hubungan denganmu, namun juga membuatku merasa spesial untukmu. Karena banyak hal yang tidak kau sukai, ternyata ada padaku, namun kau tak pernah mempersalahkannya.
Aku pun bercerita bagaimana kamu membuatku terbayang melayang, namun juga menghampaskanku ke tanah keras. Aku juga bercerita ketika kita akan pulang setelah berjalan hingga isya datang, kau menyaranku untuk mencari perempuan yang mengerti jalan pikiran dan hidupku, serta menyayangi seorang ibu lebih dari apapun. Dan kau tahu, dua kriteria itu menunjuk pada dirimu. Dirimu yang mengatakan bahwa kita saling mengerti dalam kegilaan hidup, dirimu yang mencintai sosok ibu lebih dari apapun. Ya, kau menerbangkanku, lalu menghempaskanku, dan memberi harapan dan arah untuk memilihmu.
Saat ini, ketika senja mulai diganti dengan langit gelap diiringi rintik hujan. Di temani asap rokok yang masih menyesakan udara, aku mulai berpikir untuk lebih terbuka terhadap sesuatu, termasuk kamu. Sebelum bertemu denganku, hidupku biasa-biasa saja, dan mungkin kamupun juga, karena toh kita masih mampu menjalani hidup. Aku merasa, pertemuan kita seharusnya tidak membuat kita tidak baik-baik saja, dan aku pun harus bisa untuk tetap baik-baik saja.
Aku harus jujur, bahwa aku mulai mencintaimu lebih dari apapun. Disetiap ritual agamaku, bahkan aku jujur pada tuhan meminta alasan untuk beribadah bukan hanya karena kamu, namun karenaNya. Doa itu aku panjatkan dengan tulus, karena beribadah dengan alasan dirimu adalah seusatu yang salah.
Aku mencintaimu dan tak mampu membohongi diri agar bisa menjalin hubungan yang lebih serius denganmu. Tapi aku sadar, bahwa cintaku belum tentu mampu membuatmu bahagia. Kau perlu mencari kebahagiaanmu dengan jalan yang kau pilih sendiri. Kau harus bahagia di sisa hidupmu selanjutnya, tak peduli bersama siapa.
Mungkin aku terkesan terlalu hipokrit dengan pikiran-pikiran ini. Namun kau harus tahu, meskipun kau tidak bersamaku, aku tidak pernah kehilanganmu, karena aku bahkan tidak pernah memilikimu. Aku terlahir tanpa apa-apa, dan akan berpulang juga tanpa apa-apa, ya meskipun secara beruntung aku akan mendapatkan selembar kain putih untuk mengurangi dinginnya tanah bumi.
Seadainya hal itu terjadi, satu-satunya hal yang hilang hanyalah keinginanku untuk memilikimu. Keinginan yang dikarenakan persepsiku tentang cinta. Keinginanku untuk hidup bahagia bersamamu.
Hingga saat ini, kebahagiaan terbesarku adalah berhubungan dengan kamu, entah bagaimana nantinya. Karena bagaimanapun aku berpikir, hidup akan terus berjalan sesuai yang sudah digariskanNya. TanganNya mampu untuk merubah kehidupan seseorang dengan begitu cepatnya, seperti yang terjadi padaku saat berkenalan denganmu. Terlalu banyak rencana misterius dari alam semesta, yang tak pernah mampu aku raba.
Aku sadar bahwa, aku hanya selembar kertas putih dalam ruangan yang dipenuhi kertas berserak, yang bahkan keberadaanku tidak diketahui orang lain, namun aku memiliki keinginan bahwa kehadiranku mampu kamu terima, bahkan jika hanya sebagai teman.
Aku merasa bahwa aku tak mampu memberikan kebahagian yang sesungguhnya, meskipun aku mampu membuat kamu berpersepsi bahwa kamu bahagia, namun itu hanyalah persepsi yang bahkan bisa salah.
Hingga ketika adzan isya berkumandang, aku berusaha memantapkan diriku bahwa cukuplah aku menjadi sedikit warna untuk hidupmu, bahkan jika itu warna yang tidak kau pedulikan. Asal kau bahagia dengan warna-warna yang ada dihidupmu.
Terdengar hipokrit? Iya tentu saja, namun bukankah hidup ini memang penuh dengan kemunafikan yang diberi topeng kebenaran.
Aku memang munafik, namun aku hanya berusaha mendengarkan pikiran rasionalku dalam kondisi ini.

Purwokerto, 10 Januari 2016

You May Also Like

0 comments