Dari Ku Tentang Cinta
Senja datang tanpa di undang di
langit purwokerto yang hangat ini. Aku duduk didalam ruangan yang penuh dengan
asap rokok di udara. Ditemani boys don’t
cry dari The Cure yang mengisi indra pendengaranku. Sudah tak terhitung
puntung rokok yang memenuhi asbak kotor di pojok ruangan. Tak terbayangkan pula
seramai apa kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran yang tak tahu akhirnya.
Hingga saat ini ak tak pernah suka
berada dikeramaian, karena ditengah keramai terlalu banyak manusia yang
berlomba-lomba untuk bersuara tentang hal-hal kosong. Kalimat penuh kekosongan
yang berujung pada tanggapan kosong pula. Aku lebih suka berada dalam keadaan
sepi, namun ramai akan pikiran yang terus bergumul didalam kepala. Atau berdua
bersama manusia lain yang mengeluarkan kata-kata penuh kehidupan.
Sore ini, meskipun berdua didalam
ruangan, aku lebih menikmati pikiranku dibanding ocehannya. Aku terus berpikir
tentang diriku dan juga dirimu. Aku terlalu mencintai dirimu, namun juga
mencintai diriku. Aku mencintai dirimu, hingga aku memiliki hasrat kuat untuk
menjadikanmu teman hidupku, bahkan hingga tua nanti. Aku terlalu mencintai
diriku, hingga aku tak berani mengungkapkan perasaanku kepada dirimu, yang
sangat menggebu.
Sejak mengenal dirimu, pola hidupku
mulai banyak berubah. Aku mulai mencoba dekat dengan tuhan, dengan melakukan
berbagai ritual yang diwajibkannya, dan yang lebih gilanya lagi aku mulai
memikirkan tentang diriku sendiri, tentang bertanggungjawab terhadap ibu dan
adikku, hingga bertanggung jawab terhadap pasanganku, kelak dimasa depan.
Aku tidak bisa melepaskan pikiranku
dari dirimu. Aku heran, kenapa hanya dalam waktu yang singkat aku bisa
benar-benar terjerembab dalam lubang yang banyak orang sebut cinta. Tak sering
kita bertemu, namun setiap bertemu, dirimu selalu mampu membuatku berpikir
tentang kehidupan. Aku selalu bahagia, serta mengutuk diri sendiri atas keadaan
tersebut.
Diawal kita bertemu untuk kau berbagi
salah satu kisah hidupmu, kulihat matamu sayu dan air mata selalu siap leleh
dari indra pengelihatanmu. Kau bercerita tentang masa lalu bersama dengan
lelaki yang hingga saat ini masih kau cinta. Masa lalu yang indah hingga satu
kejadian merusaknya. Dimana lelaki yang kau cinta itu, mengkhianati cinta yang
kau jaga. Air matamu mulai leleh ketika kau mulai cerita tentang
pengkhianatnnya, tak banyak yang bisa ku lakukan, aku hanya mendengar sambil
beberapa kali memberikan tanggapan.
Tak terasa hari berlalu, ketika kau
masih asik bercerita. Tepat satu jam pasca tengah malam, saudaramu datang untuk
mengajak pulang. Sejujunya aku merasa bersalah, terjebak dalam keadaan itu,
namun tak ada yang mampu ku perbuat. Sisa langit pekat itu diakhiri dengan
kebahagian dalam diriku, namun aku tak tahu apa yang kau rasakan saat itu.
Siang setelah malam yang akan aku
kenang dalam hidupku, kau bangun saat adzan zuhur menyapa. Kau bilang, akhirnya
bisa tidur untuk waktu yang lama. Bagiku hal tersebut sangatlah berkesan,
karena aku merasa mampu membuatmu beristirahat lebih lama dibanding biasanya.
Tak lama berselang kau mengirimiku puisi, yang menandakan sebuah harapan,
harapan untuk kau melanjutkan hidup, dan harapan untuku, yang aku asumsikan
akan bisa menjalani hidup denganmu dalam sebuah ikatan yang lebih dari sekedar
teman.
Kau membuatku berpikir bahwa akulah
lelaki yang mampu mengobati sedikit luka hatimu. Saat itu, harapanku terbang ke
awan, ditambah semangat yang kau berikan saat aku harus melakukan sesuatu yang
membuat kita berpisah dalam waktu beberapa hari, disaat tahun baru. Aku
menganggap moment saat itu sungguh berharga karena kita menjadi lebih hangat
dalam hubungan yang memiliki persepsi berbeda di antara kita.
Pasca menghabiskan malam bersama dan
puisi yang kau kirim, kita mulai lebih intens bertukar kabar, bahkan mulai
merencanakan pertemuan-pertemuan selanjutnya, yang kita sebut sesi curhat. Aku
ingat kau mengatakan “kangen nongkrong sama aku ya?” di sela-sela obrolan kita.
Aku merasa itu adalah kalimat yang membuat aku merasa perasaanku direspon
olehmu.
Malam tanggal 29 desember 2015, aku
mengatakan bahwa aku tidak akan bisa menghubungimu selama kegiatanku
berlangsung, lalu kau menjawab bahwa kau sedih, dan aku menjanjikan melanjutkan
sesi curhat yang belum usai sebelumnya. Kau menyepakatinya dengan syarat yang
sungguh mudah untukku. Dan kau sekali lagi menyemangati dan mengingatkanku
untuk tidak meninggalkan solat, yang mana hingga saat ini, pesanmu tak pernah
ku lupakan.
Tiga hari berlalu tanpa kabar darimu,
dan aku masih tidak bisa melepaskan pikiranku darimu. Aku merasa sangat bahagia
ketika acara usai, hal yang tidak pernah aku rasakan. Aku bahagia karena akan
bisa intens lagi bertukar kabar denganmu. Namun, saat aku sampai di Purwokerto
dan bisa bertukar kabar denganmu lagi, aku merasa kamu telah berubah. Tidak
seperti seseorang yang aku kenal saat tahun belum berganti.
Aku mengabarimu dengan antusias,
tidak lupa ucapan selamat tahun baru yang telah 16 jam 53 menit. Sayang kau
hanya membalas ala kadarnya. Aku mulai membalas dengan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak penting, dan kau menjawab dengan kepura-puraan yang aku tidak tahu
kenapa. Namun aku merasa ada sesuatu yang coba kau tutupi padaku.
Aku terus bertanya pada diri sendiri,
tentang apa yang sedang terjadi, hingga aku memberanikan diri untuk bertanya
langsung padamu. Kau menjawab dengan mengirimiku puisi yang aku tak mampu
menerka makna di dalamnya. Aku hanya mampu menerka, tanpa kepastian mengenai
persepsiku sendiri.
Ada satu kejadian yang membuatku
terjun bebas ke bumi dan menghantam tanah kerasnya, setelah beberapa hari kau
bawa terbang dengan segala ucapan dan tingkah lakumu. Saat itu temanku
bercerita, tentang temannya yang mendekatimu dan kau meresponnya dengan baik.
Katanya, kau sering mengingatkannya untuk solat subuh dan makan bersamanya.
Cerita itu membuatku sadar, bahwa duniamu lebih luas, dibanding yang aku
ketahui, dan aku mulai merasa bahwa aku harus membuat barrier untuk hatiku sendiri, agar tidak jatuh terjatuh terlalu
dalam sesuatu yang kupersepsikan sebagai cinta.
Sejak saat itu, aku sadar bahwa yang
aku inginkan bukan balasan terhadap perasaanku darimu, namun kebahagiaanmu,
entah dengan siapapun. Aku hanya tidak ingin perempuan sekuat dan sepintar
dirimu jatuh karena sesuatu yang irasional. Aku hanya ingin membuatmu bangkit
dan menjalani hidup yang sudah sangat keras ini. Hanya itu yang diinginkan oleh
pikiran rasionalku.
Dalam kondisi itu, aku merasa menjadi
seseorang yang puitis. Aku mengirimu sebuah puisi yang terinspirasi dari film Dead Poet Society, tentang penyesalanku
karena tidak memiliki keberanian untuk mengambil kesempatan dengan resiko yang
dikandungnya. Kau membalas puisiku, dengan puisi pula, yang membuatku terbayang
melayang, dan merubah pemikiranku sebelumnya. Aku ingin menjadi bagian hidupmu!
Ucapku dalam hati. Sesuatu yang membuatku berani untuk mengajakmu keluar untuk
makan dan merencanakan sesi curhat selanjutnya.
Siang itu, tidak penting tepatnya
hari apa, kita bersepakat untuk makan bersama. Aku tidak menyangka jika waktu
makan siang itu akan berubah jadi sesi curhat kedua. Aku memberikan pertanyaan
sederhana, yang tidak kusangka bahwa jawabannya akan membuatku kehilangan
kata-kata. Kau bercerita tentang masa-masa intership-mu
di Jakarta, saat itu ternya banyak sekali lelaki yang berusaha mendekatimu,
namun tak kau gubris. Hingga ada satu lelaki lulusan pesantren, yang bahkan kau
tak ingat wajahnya, diam-diam mengagumimu.
Lelaki itu, memperlakukanmu dengan
sangat hati-hati. Ia mulai menghubungimu dengan obrolan-obrolan garing, yang
jarang kau gubris. Hingga satu hari, tepatnya di hari terakhir 2015, ia
langsung mendatangi rumahmu untuk bertemu keluargamu. Sesuatu yang menurutku
sangat gila, yang bahkan tidak pernah terlintas dikepalaku. Hal itu menciptakan
kesan yang mendalam untukmu, hingga akhirnya kau merasa kehilangan ketika
lelaki itu tidak menghubungimu dikemudian hari.
Kau mengatakan bahwa, lelaki itu
seperti kiriman tuhan ditengah kegundahan hatimu pada mantanmu, yang masih saja
tidak melepaskanmu. Lelaki itu mampu membuatmu tidak lagi memikirkan mantanmu
untuk sesaat, diam-diam kau ternyata jatuh hati padanya. Hingga kau
menyelesaikan ceritamu, aku hanya mampu terdiam, dan hanya bisa memalingkan
wajah.
Saat itu aku berpikir, jangan-jangan
puisi yang kau kirim padaku, ternyata menceritakan tentang dia. Sesuatu yang
tidak pernah ku duga. Aku mulai merasa bahwa tidak mungkin untukku menjalin
hubungan yang lebih serius denganmu. Aku terlalu naif dengan pikiranku untuk
hidup bersama denganmu.
Aku memang pengecut, yang tidak
berani mengungkapkan perasaanku padamu, karena aku takut kejujuran yang ku
sajikan padamu akan merusak hubungan kita. Aku lebih baik tersiksa dalam diam,
dibanding harus kehilanganmu, bahkan dalam hubungan sebagai teman.
Setelah sesi curhat yang tidak diduga
itu, malamnya aku bertemu dengan seseorang yang sudah kau anggap sebagai
saudara. Aku banyak bertanya tentang hidupmu dan menceritakan bagaimana
hubungan kita. Setiap kata yang keluar dari bibir saudaramu, membuatku harus
sabar dalam menjalin hubungan denganmu, namun juga membuatku merasa spesial
untukmu. Karena banyak hal yang tidak kau sukai, ternyata ada padaku, namun kau
tak pernah mempersalahkannya.
Aku pun bercerita bagaimana kamu
membuatku terbayang melayang, namun juga menghampaskanku ke tanah keras. Aku
juga bercerita ketika kita akan pulang setelah berjalan hingga isya datang, kau
menyaranku untuk mencari perempuan yang mengerti jalan pikiran dan hidupku,
serta menyayangi seorang ibu lebih dari apapun. Dan kau tahu, dua kriteria itu
menunjuk pada dirimu. Dirimu yang mengatakan bahwa kita saling mengerti dalam
kegilaan hidup, dirimu yang mencintai sosok ibu lebih dari apapun. Ya, kau
menerbangkanku, lalu menghempaskanku, dan memberi harapan dan arah untuk
memilihmu.
Saat ini, ketika senja mulai diganti
dengan langit gelap diiringi rintik hujan. Di temani asap rokok yang masih
menyesakan udara, aku mulai berpikir untuk lebih terbuka terhadap sesuatu,
termasuk kamu. Sebelum bertemu denganku, hidupku biasa-biasa saja, dan mungkin
kamupun juga, karena toh kita masih mampu menjalani hidup. Aku merasa,
pertemuan kita seharusnya tidak membuat kita tidak baik-baik saja, dan aku pun
harus bisa untuk tetap baik-baik saja.
Aku harus jujur, bahwa aku mulai
mencintaimu lebih dari apapun. Disetiap ritual agamaku, bahkan aku jujur pada
tuhan meminta alasan untuk beribadah bukan hanya karena kamu, namun karenaNya.
Doa itu aku panjatkan dengan tulus, karena beribadah dengan alasan dirimu
adalah seusatu yang salah.
Aku mencintaimu dan tak mampu
membohongi diri agar bisa menjalin hubungan yang lebih serius denganmu. Tapi
aku sadar, bahwa cintaku belum tentu mampu membuatmu bahagia. Kau perlu mencari
kebahagiaanmu dengan jalan yang kau pilih sendiri. Kau harus bahagia di sisa
hidupmu selanjutnya, tak peduli bersama siapa.
Mungkin aku terkesan terlalu hipokrit dengan pikiran-pikiran ini.
Namun kau harus tahu, meskipun kau tidak bersamaku, aku tidak pernah
kehilanganmu, karena aku bahkan tidak pernah memilikimu. Aku terlahir tanpa
apa-apa, dan akan berpulang juga tanpa apa-apa, ya meskipun secara beruntung
aku akan mendapatkan selembar kain putih untuk mengurangi dinginnya tanah bumi.
Seadainya hal itu terjadi,
satu-satunya hal yang hilang hanyalah keinginanku untuk memilikimu. Keinginan
yang dikarenakan persepsiku tentang cinta. Keinginanku untuk hidup bahagia
bersamamu.
Hingga saat ini, kebahagiaan
terbesarku adalah berhubungan dengan kamu, entah bagaimana nantinya. Karena
bagaimanapun aku berpikir, hidup akan terus berjalan sesuai yang sudah
digariskanNya. TanganNya mampu untuk merubah kehidupan seseorang dengan begitu
cepatnya, seperti yang terjadi padaku saat berkenalan denganmu. Terlalu banyak
rencana misterius dari alam semesta, yang tak pernah mampu aku raba.
Aku sadar bahwa, aku hanya selembar
kertas putih dalam ruangan yang dipenuhi kertas berserak, yang bahkan
keberadaanku tidak diketahui orang lain, namun aku memiliki keinginan bahwa
kehadiranku mampu kamu terima, bahkan jika hanya sebagai teman.
Aku merasa bahwa aku tak mampu memberikan
kebahagian yang sesungguhnya, meskipun aku mampu membuat kamu berpersepsi bahwa
kamu bahagia, namun itu hanyalah persepsi yang bahkan bisa salah.
Hingga ketika adzan isya
berkumandang, aku berusaha memantapkan diriku bahwa cukuplah aku menjadi
sedikit warna untuk hidupmu, bahkan jika itu warna yang tidak kau pedulikan.
Asal kau bahagia dengan warna-warna yang ada dihidupmu.
Terdengar hipokrit? Iya tentu saja, namun bukankah hidup ini memang penuh
dengan kemunafikan yang diberi topeng kebenaran.
Aku memang munafik, namun aku hanya
berusaha mendengarkan pikiran rasionalku dalam kondisi ini.
Purwokerto, 10 Januari 2016
0 comments